Banjir bandang dahsyat yang melanda Sumatera bikin banyak orang bertanya-tanya: apa sih sebenarnya penyebabnya? Ratusan nyawa melayang dan infrastruktur hancur di berbagai daerah. Seorang ahli dari Institut Teknologi Bandung (ITB) coba memberikan sedikit pencerahan soal faktor-faktor yang berkontribusi pada bencana ini.
Curah Hujan Ekstrem di Puncak Musim Hujan
Dr. Muhammad Rais Abdillah S.Si., M.Sc., seorang pakar meteorologi dari ITB, bilang kalau salah satu biang keroknya adalah curah hujan ekstrem yang kebetulan terjadi pas puncak musim hujan di Sumatera bagian tengah. “Tapanuli dan sekitarnya memang lagi musim hujan-hujannya. Sumatera bagian utara itu unik, bisa punya dua puncak hujan setahun. Nah, sekarang ini mereka lagi ngalamin salah satu puncaknya,” jelas Dr. Rais.
Data dari BMKG menunjukkan angka yang mencengangkan: curah hujan di beberapa tempat mencapai 150-300 milimeter! Itu sudah masuk kategori ekstrem. Bayangkan saja, air sebanyak itu numpuk dan meluap, drainase alami dan buatan pun kewalahan.
Sirkulasi Siklonik dan Fenomena Atmosfer Ikut Andil
Nggak cuma itu, Dr. Rais juga menyoroti peran sirkulasi siklonik di sekitar Sumatera bagian utara yang bikin hujan makin menggila. “Pusaran angin ini punya andil besar dalam peningkatan curah hujan. Bahkan, fenomena ini berkembang jadi Siklon Tropis Senyar, yang terbentuk di Selat Malaka dan bergerak ke barat,” katanya.
Walaupun siklon ini nggak sekuat yang biasa terjadi di Samudera Pasifik atau Hindia, tetap saja dorong pembentukan awan hujan secara besar-besaran. Ditambah lagi vortex, yaitu angin kencang dari utara yang membawa udara lembap, makin memperkuat pembentukan awan hujan. Jadi, kombinasi berbagai fenomena atmosfer ini bikin kondisi ideal buat hujan ekstrem dalam waktu singkat.
Kerusakan Lingkungan, Masalah Klasik yang Memperparah
Selain faktor cuaca, kerusakan lingkungan yang parah juga punya andil besar dalam memperburuk dampak banjir bandang. Hutan gundul dan perubahan tata guna lahan bikin tanah kehilangan kemampuannya untuk menyerap air hujan.
“Normalnya, sebagian air hujan harusnya meresap ke tanah, sisanya baru mengalir di permukaan. Nah, proporsi keduanya itu tergantung banget sama tutupan lahan dan karakteristik tanah,” jelas Dr. Heri Andreas S.T., M.T., dosen dari Teknik Geodesi dan Geomatika ITB.
Alih Fungsi Lahan Bikin Daya Tampung Air Jebol
Alih fungsi hutan jadi perkebunan dan pemukiman bikin kapasitas serapan air di wilayah tersebut berkurang drastis. Alhasil, air hujan langsung lari ke sungai-sungai, volume air melonjak tajam, dan terjadilah banjir bandang.
“Hilangnya kawasan penahan air alami bikin wilayah itu kehilangan kemampuan menahan limpasan air. Jadi, hujan yang turun langsung ngalir cepat ke sungai dan memicu banjir,” imbuh Dr. Heri. Ini seperti lingkaran setan, banjir makin sering terjadi dan makin parah dampaknya.
Penataan Ruang dan Konservasi Jadi Kunci
Untuk mengatasi masalah ini, Dr. Heri menekankan pentingnya penataan ruang berbasis risiko, konservasi kawasan penahan air, dan pemodelan geospasial untuk mitigasi jangka panjang. “Penataan ruang yang baik harus mempertimbangkan risiko bencana. Kawasan rawan banjir harus jadi kawasan lindung atau kawasan dengan pembatasan pembangunan yang ketat,” tegasnya.
Selain itu, konservasi hutan dan lahan basah juga penting banget untuk memulihkan kemampuan alami wilayah dalam menyerap air hujan. Pemodelan geospasial bisa bantu mengidentifikasi kawasan rawan banjir dan merumuskan strategi mitigasi yang efektif.
Peringatan Dini dan Edukasi Kebencanaan Juga Penting
Nggak cuma mitigasi jangka panjang, peringatan dini cuaca yang akurat dan edukasi kebencanaan juga punya peran krusial dalam mengurangi dampak banjir bandang. Informasi cuaca yang akurat dan tepat waktu bisa bantu masyarakat untuk bersiap dan mengambil langkah-langkah pencegahan.
“Peringatan dini cuaca yang akurat dan ilmiah itu penting banget untuk meminimalisir dampak bencana. Informasi ini harus disebarluaskan secara efektif ke masyarakat, biar mereka bisa ambil tindakan yang tepat,” kata Dr. Rais.
Penguatan literasi kebencanaan dan edukasi publik juga diperlukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang risiko bencana alam dan cara-cara menghadapinya. Dengan pemahaman yang baik, masyarakat bisa lebih siap dan tanggap dalam menghadapi ancaman banjir bandang.
Semua upaya ini butuh kolaborasi dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, akademisi, sampai masyarakat sipil, untuk menciptakan sistem mitigasi bencana yang komprehensif dan berkelanjutan. Investasi dalam teknologi peringatan dini, penataan ruang yang bijaksana, dan edukasi masyarakat adalah kunci untuk mengurangi kerentanan terhadap bencana banjir bandang di masa depan.





Leave a Comment