Dunia sains lagi nggak baik-baik aja nih. Ada fenomena yang lagi ngetren, namanya silent resignation atau pengunduran diri diam-diam. Bayangin aja, para ilmuwan, orang-orang pintar yang kita harapkan bisa kasih solusi buat masalah dunia, eh malah banyak yang milih cabut pelan-pelan dari bidangnya. Kenapa ya?
Studi Ungkap Fakta yang Bikin Geleng-Geleng Kepala
Ada studi baru yang bikin kaget. Mereka ngumpulin data dari ratusan ribu ilmuwan di seluruh dunia, pakai data dari Scopus, database sitasi terkenal itu. Hasilnya? Nggak main-main! Hampir separuh ilmuwan berhenti berkutat di dunia sains cuma dalam waktu sepuluh tahun setelah publikasi pertama mereka. Gawat kan? Padahal, mereka ini kan aset berharga yang seharusnya bisa kasih kontribusi buat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Skala Global: Ini Bukan Cuma Masalah Lokal
Penelitian ini nggak cuma ngomongin satu negara atau wilayah aja lho. Datanya mencakup hampir 400 ribu ilmuwan dari 38 negara, dari Amerika Serikat sampai Jepang, Korea Selatan, dan negara-negara Eropa. Jadi, ini beneran masalah global! Ratusan ribu ilmuwan terlibat, ini bukan angka yang bisa kita abaikan begitu aja.
Cewek di Dunia Sains: Bebannya Lebih Berat?
Yang menarik lagi, studi ini nemuin ada perbedaan antara ilmuwan perempuan dan laki-laki soal silent resignation. Ternyata, ilmuwan perempuan cenderung lebih mungkin buat berhenti publikasi karya ilmiah dibanding ilmuwan laki-laki. Setelah 5 sampai 10 tahun publikasi pertama, proporsi ilmuwan perempuan yang resign lebih tinggi. Tapi, bedanya nggak sama di semua bidang ilmu ya.
Beda Bidang Ilmu, Beda Cerita
Di ilmu hayati, bedanya cukup mencolok. Ilmuwan perempuan di bidang biologi lebih mungkin buat ninggalin dunia sains setelah 10 tahun. Tapi, di fisika, matematika, teknik, dan ilmu komputer, bedanya nggak terlalu besar. Bahkan, di beberapa bidang, hampir nggak ada bedanya sama sekali! Ini nunjukkin kalau alasan ilmuwan buat berhenti mungkin beda-beda, tergantung bidangnya.
Kenapa Mereka Pilih ‘Silent Resignation’?
Studi ini memang berhasil ngukur seberapa besar fenomena silent resignation, tapi nggak langsung ngasih tau kenapa para ilmuwan ini berhenti. Tapi, ada beberapa faktor yang mungkin jadi penyebabnya. Misalnya, mereka nggak puas sama lingkungan kerja, kurang dapet pengakuan, kerjaannya terlalu banyak, atau susah dapet peluang karier yang bagus.
Keluarga, Jabatan, dan Gaji: Faktor Penentu?
Ada studi lain yang ngeliat keputusan resign dari para dosen di universitas di Amerika Serikat. Mereka nemuin kalau keluarga, status jabatan, dan gaji punya peran penting. Banyak ilmuwan, terutama perempuan, yang susah ngebagi waktu antara karier dan keluarga. Kurangnya dukungan dari tempat kerja juga bikin makin berat. Belum lagi, ketidakpastian soal jabatan dan gaji yang nggak cukup juga bisa jadi alasan buat nyari kerja di bidang lain.
“Ini masalah kompleks dengan banyak lapisan. Nggak ada satu jawaban tunggal buat ngejelasin kenapa para ilmuwan ini milih buat pergi,” kata seorang sosiolog yang ngerti banget soal kesetaraan gender di dunia akademis.
Data dari studi lain juga nunjukkin kalau perempuan seringkali kurang dapet apresiasi atas kontribusi mereka dalam penelitian. Ini bisa bikin frustrasi dan nggak semangat, yang akhirnya bikin mereka nyari karier di luar dunia sains.
Intinya, fenomena silent resignation di dunia sains itu kompleks banget. Studi ini ngasih gambaran yang lebih jelas soal seberapa besar masalahnya dan beberapa faktor yang mungkin jadi penyebabnya. Penting banget buat kita ngerti kenapa para ilmuwan ini berhenti, supaya kita bisa bikin strategi yang efektif buat nahan talenta di bidang sains dan mastiin kemajuan ilmu pengetahuan di masa depan.
Kita perlu usaha lebih buat ngatasin kesenjangan gender, ningkatin dukungan buat ilmuwan yang punya keluarga, dan nyiptain lingkungan kerja yang lebih inklusif dan apresiatif. Kalau kita serius ngurusin masalah ini, semoga dunia sains bisa terus narik dan nahan orang-orang berbakat yang bisa kasih kontribusi buat kemajuan pengetahuan dan kesejahteraan kita semua.





Leave a Comment