Integritas riset di dunia kampus Indonesia kembali jadi sorotan. Hasil kurang menggembirakan dari Research Integrity Risk Index (RI2), yang menempatkan Indonesia di zona kuning hingga merah, memunculkan pertanyaan serius tentang kualitas dan etika penelitian. Indeks ini, bagian dari studi “Gaming the Metrics? Bibliometric Anomalies and the Integrity Crisis in Global Research,” mengindikasikan adanya masalah. Lalu, apa sebenarnya yang terjadi, dan bagaimana tanggapan dari pihak-pihak terkait?
Integritas Riset Kampus Jadi Perhatian
Penilaian terhadap integritas riset di kampus-kampus Indonesia bukan tanpa alasan. Studi Research Integrity Risk Index (RI2), yang hasilnya menempatkan Indonesia dalam kategori mengkhawatirkan, langsung memicu perdebatan di kalangan akademisi dan pembuat kebijakan. Indeks ini mengukur potensi risiko pelanggaran etika dalam penelitian, seperti plagiarisme, manipulasi data, atau fabrikasi hasil riset. Data ini menjadi alarm bagi dunia pendidikan tinggi untuk segera berbenah diri dan meningkatkan kualitas riset. Indikasi praktik tidak etis dalam publikasi ilmiah, seperti salami slicing (membagi riset menjadi beberapa publikasi terpisah) dan citation cartels (kesepakatan saling mengutip), makin memperburuk citra riset Indonesia di mata dunia.
Tanggapan Kemendikbudristek
Menanggapi isu yang berkembang, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyatakan komitmennya untuk melakukan perbaikan. Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Wamendiktisaintek) Stella Christie mengakui adanya tantangan dalam membangun ekosistem riset yang ideal di Indonesia. “Fakta ini harus kita jadikan cambuk untuk terus berbenah. Tapi, penting juga untuk memahami akar masalahnya,” ujarnya saat ditemui di Grha Kemdikbudristek, Jakarta, Jumat (18/7/2025). Pemerintah berjanji mengambil langkah strategis untuk meningkatkan kualitas dan integritas riset nasional.
Ekosistem Riset yang Belum Optimal
Wamendiktisaintek menyoroti bahwa salah satu penyebab utama masalah ini adalah ekosistem riset yang belum sepenuhnya mendukung. Menurutnya, meskipun banyak dosen di Indonesia punya potensi besar di bidang riset, dukungan yang ada masih jauh dari cukup. “Secara individu, saya lihat kemampuan dosen kita sudah mumpuni. Tapi, secara ekosistem, kita masih jauh dari kata optimal,” ungkapnya.
Dana Penelitian Jadi Sorotan
Salah satu aspek penting dalam ekosistem riset adalah ketersediaan dana. Pemerintah mengakui anggaran untuk riset di Indonesia masih belum optimal jika dibandingkan dengan negara-negara maju. “Anggaran untuk riset masih jadi PR besar buat kita,” kata Stella. Keterbatasan dana ini seringkali menghambat peneliti untuk melakukan riset mendalam dan berkualitas.
Insentif Peneliti Juga Perlu Dibenahi
Selain dana, sistem insentif bagi peneliti juga jadi perhatian pemerintah. Wamendiktisaintek menjelaskan sistem insentif yang ada saat ini belum sepenuhnya memotivasi peneliti. “Saat ini, dana yang diberikan dari Kementerian tidak boleh untuk memberikan insentif langsung ke peneliti. Ini beda banget dengan negara lain yang sudah maju risetnya,” jelasnya. Sistem insentif yang kurang memadai bisa menurunkan semangat peneliti untuk menghasilkan karya inovatif.
Beban Kerja Dosen Terlalu Tinggi?
Faktor lain yang memengaruhi kualitas riset adalah beban kerja dan administratif dosen yang tinggi. Dosen di Indonesia sering dituntut untuk memenuhi berbagai kewajiban, mulai dari publikasi ilmiah, administrasi kampus, pengabdian masyarakat, sampai mengajar penuh waktu. Beban kerja berlebihan ini bisa mengurangi waktu dan fokus dosen dalam melakukan riset. Stella mencontohkan perbedaan sistem di negara maju seperti Amerika Serikat dan Tiongkok, di mana dosen punya spesialisasi yang lebih jelas, ada yang fokus riset dan ada yang lebih banyak mengajar.
Upaya Memperbaiki Sistem
Pemerintah berkomitmen melakukan berbagai upaya perbaikan sistem untuk meningkatkan kualitas dan integritas riset di Indonesia. Beberapa langkah konkret yang sudah dan akan diambil antara lain peningkatan anggaran riset, perbaikan sistem insentif bagi peneliti, dan pengurangan beban kerja administratif dosen.
Mengubah IKU dan BKD
Salah satu langkah yang diambil Kemendikbudristek adalah mengubah Indikator Kinerja Utama (IKU) dan Beban Kerja Dosen (BKD). Tujuannya adalah agar kampus bisa memenuhi target kinerja sambil tetap menjaga kualitas riset. “Kita harus bikin IKU dan BKD yang tepat, dengan insentif yang sesuai,” tegas Stella. Pemerintah juga mendorong kerja sama antar dosen untuk publikasi bersama, sehingga memberi keleluasaan bagi dosen untuk menghasilkan publikasi yang optimal.
Wamendiktisaintek menekankan pentingnya membangun ekosistem riset yang tepat, di mana tuntutan yang diberikan harus berdasarkan kualitas dan memperhatikan beban kerja yang ada. “Kita harus bikin tuntutan yang berdasarkan kualitas dan perhatikan beban-beban lainnya. Jangan malah membebani tanpa melihat apa yang sebenarnya dikerjakan di lapangan,” pungkasnya. Pemerintah berharap dengan upaya-upaya ini, integritas riset di Indonesia bisa meningkat dan menghasilkan karya ilmiah berkualitas dan bermanfaat bagi masyarakat. Peningkatan kualitas riset diharapkan bisa berkontribusi signifikan terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia, serta meningkatkan daya saing bangsa di tingkat global. Pemerintah optimis, dengan kerja keras dan sinergi berbagai pihak, Indonesia bisa keluar dari zona merah dalam Research Integrity Risk Index dan menjadi negara yang disegani dalam bidang riset.





Leave a Comment